Hambatan Pelaksanaan
KTSP di Lapangan
www.plbjabar.com
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) secara resmi telah diterapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2006. Peraturan ini merupakan peletakan batu pertama pelaksanaan KTSP. Sebelumnya pemerintah juga telah mensosialisasikan Kurikukulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejak tahun 2001. KTSP merupakan hasil final dari penggodokan kurikulum berbasis kompetensi atau boleh dikatakan bentuk yang paling sempurna dari KBK pada saat ini.
Bila kita mencoba mendalami isi dari KTSP, bangunannya ditopang oleh pilar yang sangat kuat yaitu kompetensi dan pendekatan kontekstual. Pilar kompetensi dapat diartikan sebagai daya cakap, daya rasa dan daya tindak seseorang yang siap diaktulisasiakan ketika menghadapi tantangan kehidupannya, baik pada masa kini maupun pada masa mendatang (Masnur Muslich : 2007). Pilar yang kedua adalah melalui pendekatan kontekstual, pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning) dapat diartikan suatu konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi belajar dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari hari.
Kita dapat membayangkan produk yang akan dihasilkan apabila konsep KTSP dapat diterapkan secara sempurna dalam dunia pendidikan kita. Mungkin saja indonesia akan segera keluar dari keterpurukan dan masuk dalam jajaran dunia maju sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang. Permasalahannya adalah apakah KTSP ini dapat diterapkan secara nyata oleh guru dilapangan atau nasibnya akan seperti kurikulum-kurikulum yang sudah "wafat" sebelum diberlakukannya KTSP?
Untuk mengungkap persoalan ini, penulis mencoba mengadakan obrolan-obrolan ringan di sekolah pada saat jam istirahat dengan teman sejawat dan melihat referensi-referensi yang mendukung masalah ini. Kesimpulannya ada beberapa hal yang dapat menghambat pelaksanaan KTSP dilapangan yaitu:
Pertama, masih adanya sekelompok guru yang bersikap apatis dan kurang respon terhadap perubahan. Sikap ini tentunya akan merugikan terhadap pelaksanaan KTSP dilapangan. Kelompok ini berpendapat bahwa antara KTSP dan kurikulum yang berlaku sebelumnya tidak ada bedanya hanya beda dalam pembuatan format dan istilah saja. Sebagai contoh "kalau dulu tujuan instruksional umum maka sekarang kompetensi dasar, kalau dulu tujuan instruksional khusus maka sekarang jadi indikator". Lebih jauh lagi kelompok ini berpendapat bahwa pemberlakuan KTSP hanya proyek para pejabat untuk menghabiskan dana APBN.
Kedua, dalam KTSP guru diberikan tanggung jawab yang lebih besar dalam menentukan pencapaian hasil belajar siswanya. Guru dituntut untuk lebih memahami KTSP dan meningkatkan daya kreativitasnya dalam mengajar, tapi sebagain guru masih rendah kemauannya dalam meningkatkan pengetahuan akademis dan keprofesionalannya. Keadaan ini diperparah dengan sarana dan prasana yang terbatas.
Ketiga, Tidak semua guru memperoleh kesempatan untuk mengikuti penataran, lokakarya penjelasan, dan sejenisnya yang terkait dengan pelaksanaan kurikulum yang berbasis kompetensi dan pendekatan kontekstual.
Keempat, Pelatihan-pelatihan tentang KTSP yang pernah diikuti penulis kebanyakan menitik beratkan pada teknis pembuatan program tahunan, program semester, silabus, RPP, sistim penilaian dan kalender pendidikan. Pembahasan tentang latar belakang, pilosofi, dan tujuan dari KTSP kurang ditonjolkan. Pelatihan seperti ini hanya akan memberikan kemampuan dalam pembuatan format-fotmat teknis saja tapi tidak sampai mengubah pola pikir guru (brain washing) sehingga guru mempunyai kesimpulan bahwa pada saat ini harus memakai KTSP.
Kita semua berharap bahwa KTSP dapat dilaksanakan secara sempurna. Akhirnya semua itu dikembalikan kepada diri kita masing-masing sebagai pendidik. Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberi manfaat kepada kita semua dan dapat dijadikan sebagai masukan bagi para pemegang kebijakan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Tidak ada komentar: